Blog Artikel

Internet : Benih Ajaib Bagi Kaum Hawa

Selasa, 11 April 2023

Edisi Memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2023

Penulis : Al Rahman (tim Kita Kompeten)


Internet adalah sebuah benih ajaib. Sifatnya sangat cocok dengan demokrasi yaitu serba terbuka dan semua orang bebas menggunakannya tanpa memandang SARA, menjadikannya sebagai ikon era digital yang sangat digandrungi  oleh semua kalangan. Menurut laporan We Are Social mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 212,9 juta pada Januari 2023. Ini berarti sekitar 77% dari populasi Indonesia telah menggunakan internet. Jumlah pengguna internet pada Januari 2023 lebih tinggi 3,85% dibanding setahun lalu. Pada Januari 2022, jumlah pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak 205 juta jiwa.  Melihat trennya, jumlah pengguna internet di Indonesia terus tumbuh setiap tahun (dataindonesia.id).

Peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia dibarengi dengan masuknya era industri baru. Saat ini dunia sedang menjalani era Industri 4.0. Industri yang  lahir dari penggabungan  antara informasi serta teknologi menjadi New Role Model bagi perkembangan perekonomian suatu negara terutama di sektor ekonomi dan ketenagakerjaan. Indonesia saat ini melalui kementrian Perindustrian, meluncurkan Making Indonesia  4.0 sebagai sebuah peta jalan dan strategi Indonesia memasuki era digital yang tengah berjalan saat ini.  Kementrian Perindustrian mengatakan bahwa implementasi Making Indonesia 4.0 yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan PDB riil sebesar 1-2 persen per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari baseline sebesar 5 % menjadi 6-7% pada periode tahun hingga 2030.

Hadirnya industri 4.0 tentu akan memberikan dampak kepada perempuan apabila dikelola dengan baik oleh Negara. Pemerintah harus mampu meningkatkan angka partisipasi dari semua kalangan terutama keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam meramaikan dinamika. Perempuan memiliki hak dan peluang yang sama sebagai bagian dari peradaban dunia. Jika hal ini dilakukan, tentu saja akan  memberikan peluang yang  besar bagi perempuan di industri ini.

Setelah beberapa dekade perempuan selalu mejadi kelas nomor dua dalam sektor indutri, namun hari ini setelah munculnya era industri baru yang ditandai dengan pengunaan perangkat teknologi berbasis internet telah membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi perempuan untuk tidak menjadi kelas kedua kembali.

Namun pengimplementasiannya masih memiliki tantangan salah satunya diskriminasi gender yang terjadi secara global. Gender buka hanya persoalan laki-laki atau perempuan. Tapi lebih dari itu. Menurut Professor Hilary salah satu ilmuan dari amerika serikat mengatakan konsep gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Isu gender diartikan sebagai masalah yang menyangkut ketidakadilan yang berdampak negatif bagi perempuan dan laki-laki, terutama terhadap perempuan. Contohnya saja subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng. Mengakibatkan perempuan menjadi nomor dua setelah laki-laki. Di Indonesia, perempuan dianggap lemah karena konstruk yang terjadi di dalam masyarakat tentang peran perempuan di sektor publik sampai sektor privat tetap tereduksi sebagai “dapur, sumur, dan kasur” meyebabkan diskriminasi sosial terhadap perempuan.

Dinamika global memaksa setiap manusia berkompetisi. Hal ini berdampak kepada proyeksi sebaran tenaga kerja yang di klasifikasikan berdasarkan jenis kelamin. Sebagai contoh, pada tahun 2017  menurut BPS (Badan Pusat Statistik) hanya terdapat 20% pekerja perempuan di bidang industri sains, teknologi, engineering, dan matematik. Sementara itu, hasil studi dari UNESCO tahun 2015, menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi pekerja perempuan di bidang industri terutama disebabkan oleh persepsi lingkungan kerja di industri merupakan domain pekerja laki-laki, yang melibatkan pekerjaan fisik dan tidak menarik bagi pekerja perempuan. Selanjutnya data yang diperoleh ITU (International Telecommunication Union) menemukan bahwa persentase perempuan dalam pekerjaan komputasi telah menurun sejak 1991, ketika perempuan memegang 36% dari pekerjaan ini menjadi hanya 25% pada 2015. Sedangkan data dari Boston Consulting Group (BCG) pada tahun 2020 mengungkap representasi perempuan di bidang teknologi di kawasan Asia Tenggara masih tertinggal dari industri lain. Di Indonesia jumlah tenaga kerja perempuan di sektor teknologi hanya berkisar 22%.

Kesenjangan akses perempuan terhadap teknologi informasi dan komputer dianggap sebagai penghalang partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Apalagi saat ini hampir seluruh  pekerjaan di pasar kerja membutuhkan ketrampilan ini. Sebagai contoh, World Economic Forum dalam sebuah paper yang berjudul “The Future of Jobs Report” memberikan 20 rekomendasi pekerjaan yang kedepan sangat dibutuhkan bagi pasar tenaga kerja diantaranya  : Data Analis, AI dan Machine Learning, Digital Marketing, Digital Specialist, dan lain-lain.

Berdasarkan contoh di atas pasar ini memberikan peluang besar kepada perempuan, namun stereotip dan bias gender menghalanginya.

Permasalahan lainnya ialah masyarakat di Indonesia sering memaknai teknologi sebagai sebuah sarana berjejaring sosial. Hal ini mengakibatkan tingginya angka pengguna media sosial di indonesia. Survei yang dilakukan Global web Index menunjukkan bahwa Indonesia, diantara negara Asia lainnya, memiliki pengguna internet yang paling banyak menggunakan media sosial (79.72%). Bahkan Media internasional seperti CNN menjuluki Indonesia sebagai “bangsa Twitter” (Twitter nation).

Lantas timbul pertanyaan bagaimana perempuan menghadapi era indutsri yang senantiasa berkembang pesat mengikuti dinamika zaman ? jawabannya adalah meningkatkan peran dan kualitas  perempuan. Jika berbicara peran maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang harus saya lakukan ? Dewasa ini Perempuan harus berhenti terjebak dalam konstruk patriarki dan bermental inferior. Perempuan  harus menjadi lakon di era industri digital karena hanya di era inilah setiap individu diberikan kesempatan yang sama. Munculnya Internet sebagai anak emas dari era digital memberikan kesempatan yang sama bagi siapa saja untuk menggunakannya. Perempuan harus berhenti berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan status yang lebih tinggi di mata laki-laki. Perempuan harus meningkatkan kualitas pendidikan. Karena fakta memperlihatkan rendahnya kualitas pendidikan perempuan dan tingkat ekonomi juga menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Fakta lainnya adalah Semakin tinggi jenjang pendidikan masyarakat maka penetrasi internetnya juga semakin tinggi. Ini tercermin dari hasil survei (APJII) yang menunjukkan bahwa penetrasi penggunaan internet masyarakat yang berpendidikan Strata (S)2/S3 mencapai 88,24%.

Memang saat ini sektor industri masih didominasi oleh laki-laki. Padahal sektor ini sedang berkembang dengan sangat pesat hingga Industri 4.0. Memaknai hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 maret 2023, Perempuan harus sadar dan memainkan peran penting dalam menyongsong era ini. Perempuan  harus menjadi lakon, bukan hanya sekedar “cameo” atau bahkan pemeran pengganti. Perempuan harus menjadi benang merah dalam menyongsong abad ini. Perempuan harus mampu memanfaatkan seluruh kesempatan yang ada dalam berkompetisi, misalnya dengan mulai bermunculan Lembaga Pelatihan Berbasis Kompetensi seperti Kita Borneo Kompeten mempermudah kaum hawa untuk meningkatkan kemampuan skill kompetensi dalam menyongsong era ini. Terlebih lagi, Pemerintah melalui Kartu Prakerja memberikan subsidi pelatihan kepada masyarakat untuk mengakses pelatihan gratis di Platform Kita Kompeten.